Kamis, 19 Desember 2013

Malaikat Penolong


Kami berjalan kaki menuju ke kebun langit. Setelah keluar dari Mall Admiralty Place yang bersebelahan langsung dengan stasiun Mrt-nya lalu kami menyeberang jalan raya. Lalu berjalan dibawah blok. Kira-kira sudah 5 buah blok terlewati maka munculah multy-storey carpark, kebun langit ada di puncaknya. Dengan menggunakan Lift kami naik ke atas, seolah-olah aku merasa terbang ke atas langit mengingat tempat yang hendak kutuju bernama kebun langit. Bersama Taqim semuanya bisa kukhayalkan. Hidup didetik ini seolah-olah berada didunia fantasi dimana waktu terasa begitu cepat pergi.

Layaknya seperti taman-taman lainnya, kebun langit juga dihiasi dengan tanaman-tanaman hijau yang berbunga. Di bagian tengahnya ada sebentuk kolam lengkap dengan pancuran sehingga kolam itu terasa sungguh hidup dan bernyawa. Di setiap sisi kebun langit terdapat kursi ayunan yang terbuat dari kayu. Hampir semua objek disini terbuat dari alam jadi kita bisa merasakan alam begitu dekat sekali, memberikan damai dihati. Kami duduk di atas tembok pagar dengan kedua kaki kami bebas diudara sementara pandangannya seluas mata memandang.
“macam mana apakah awak suka dengan kebun langit?”
“suka sangat awak. Disini ada kolam sehingga kita boleh memancing ikan. Apakah awak minat memancing” ayat-ayat yang kulafaskan untuknya sesungguhnya kalimat kiasan. Semoga saja Taqim mampu menyiratnya.
“ya, saya sangat suka memancing. Teringin pulak rasanya nak memancing malam ini”
“kalau betul awak nak memancing. Awak tak perlu pergi jauh-jauh, disini pun boleh” sambil kumelirik matanya dan ia tersenyum. Mungkinkah dia sudah mampu menyirat ayat-ayatku barusan.
“riak air nampaknya ada entah berikan entah tidak”
“tak kan ada riak tak ada ikannya lagipun belum dicuba memancing manakan tahu ada ikan tidaknya”
“kail sebentuk umpan seekor bimbang hati memancing ikan di air takut pula umpan tak disentuh” kami saling melirik mata. Kami bersama-sama menciptakan dunia melayu klasik. Disitulah letak kemesraan kami berdua.
“Ikan ini jinak dikolam yang tenang yang Hanya memakan seekor umpan. Kalau umpan telah termakan, seribu tahun menjadi kenangan” kami masih saling melirik. Kemudian suasananya menjadi senyap sesaat. Kini Taqim benar-benar memandangku dengan kebebesannya tapi aku tak mampu menatap matanya lama-lama sehingga aku menunduk malu.
“lihatlah awak, sungguh indahnya alam dimalam ini dibawah sinar lembut sang rembulan” Taqim begitu lihai memainkan lidah. Ayat-ayat yang ia lafaskan membuat diriku terkesima hampir kehilangan kata-kata.
“iya awak, bunga yang ada disamping awak juga turut merasakan nikmat sinarannya” kali ini aku benar-benar tak sanggup melirik kedua matanya.
“sungguh banyak bunga ditaman, beraneka warna tetapi bunga disamping saya inilah yang memikat hatiku” aku benar-benar merasa didunia khayalan. Hembusan Kata-katanya menyentuh hati sanubariku.
“awak, saya kuatir jangan senasib seperti bunga. Habis harum layu dibuang”
“jangan berpikir sedemikian awak. Bukanlah harumnya saja yang saya idamkan malahan layunya pun akan saya simpan awak”
“bolehkah saya percayai segala kata-kata ini?”
“awak, tiada siapa-siapa yang boleh saya jadikan saksi” kemudian dia menuruni pagar pembatas itu. Beberapa saat kemudian dia kembali sambil memegang bunga ros merah yang ia petik dikebun langit.
“awak, inilah tanda kasih saya. Demi awak saya bersumpah bulan dan bintang menjadi saksi. Bahwa saya tak akan biarkan awak bersedih lagi. maukah awak menjadi bunga dihati saya” ros merah itu ia tengadahkan ke hadapanku. Kali ini aku sudah kehilangan kata-kata. Kuterima ros merah itu sebagai pertanda bahwa aku menerima kasih cintanya. Bulan dan bintang menjadi saksi hari jadi kami menyatukan dua hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar